Rabu, 09 November 2011

Pengertian Adil dan Keadilan

Pengertian adil dan keadilan

Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap proposi tersebut berarti ketidak adilan.
keadilan merupakan suatu tindakan atau putusan yang diberikan terhadap suatu hal (baik memenangkan/memberikan dan ataupun menjatuhkan/menolak) sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.



adil asal kata nya dari bahasa arab ‘adala, alih bahasa nya adalah lurus.
secara istilah berarti menempatkan sesuatu pada tempat/aturan nya, lawan katanya adalah zalim/aniyaya {meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya}.

untuk bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya, kita harus tahu aturan-aturan sesuatu itu, tanpa tahu aturan-aturan sesuatu itu bagaimana mungkin seseorang dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya.

istilah ADIL ini di gunakan dalam wilayah hukum, maka akan janggal dan salah kaprah jika kata adil di gunakan bukan pada wilayah hukum.hukum ini bukan cuma pidana dan perdata, tapi juga hukum agama/syariat [hal-hal yg berkaitan dengan ibadah}.

Berbicara tentang keadilan, anda tentu ingat akan dasar negara kita ialah Pancasila. Sila kelima Pancasila, berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia“.

Menurut W.J.S Poerwadarminta dalam KamusBesar bahasa Indonesia memberikan pengertian adil itu dengan yang pertama tidak berat sebelah (tidak memihak) pertimbangan yang adil, putusan itu dianggap adil; kedua mendapat perlakuan yang sama.

Menurut Drs. Kahar Masyhur memberikan defenisi tentang adil adalah
1. Adil ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya
2. Adil adalah menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak orang lain tanpa kurang
3. Adil adalah memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak, dalam keadaan yang sama dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum sesuai dengan kesalahan dan pelanggarannya.

BERBAGAI MACAM KEADILAN

A. Keadilan Legal atau keadilan Moral

Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Than man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan moral, sedangkan Sunoto menyebutnya keadilan legal.

Keadilan timbul karena penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik menurut kemampuannya. Fungsi penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan urusan yang tidak cocok baginya.

B. Keadilan Distributif

Aristoles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally) Sebagai contoh: Ali bekerja 10 tahun dan budi bekerja 5 tahun. Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja.

C. Keadilan Komutatif

Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.

Contoh :

Dr.Sukartono dipanggil seorang pasien, Yanti namanya, sebagai seorang dokter ia menjalankan tugasnya dengan baik. Sebaliknya Yanti menanggapi lebih baik lagi. Akibatnya, hubungan mereka berubah dari dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis saling mencintai. Bila dr. sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan baik saja, ada keadilan komutatif. Akan tetapi karena dr. sukartono sudah berkeluarga, hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan menghancurkan rumah tangga. Karena dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr. Sukartono.

D. KEJUJURAN

Kejujuran atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya, apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum. Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan-perbuatan yang berarti bahwa apa yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur juga menepati janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih terkandung dalam nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.

E. KECURANGAN

Kecurangan atau curang identik dengan ketidak jujuran atau tidak jujur, dan sama pula dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan jujur.

Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan hati nuraninya. Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha.

Kecurangan menyebabkan manusia menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila masyarakat sekelilingnya hidup menderita.

Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan, ditinjau dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya ada empat aspek yaitu:

1. aspek ekonomi

2. aspek kebudayaan

3. aspek peradaban

4. aspek tenik

Apabila ke empat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum, akan tetapi apabila manusia dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki,maka manusia akan melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan.


Contoh Kasus :

KASUS pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Munir SH, kembali disaput awan gelap. Satu-satunya terdakwa pembunuhan berencana terhadap pendiri Kontras itu, Pollycarpus Budihari Priyanto, dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dinyatakan tidak terbukti terlibat pembunuhan. Polly —panggilan Pollycarpus- hanya divonis dua tahun karena kasus pemalsuan surat tugas.
Keputusan MA itu otomatis membatalkan vonis 14 tahun penjara bagi Polly seperti ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Keputusan MA itu pun mengundang kontroversi baru, apalagi dari tiga hakim MA, seorang hakim menyatakan dissenting opinion dan tetap menilai Polly terlibat pembunuhan Munir.
Kita menghargai keputusan hukum yang dikeluarkan oleh MA. Sebab, dua hakim yang membebaskan Polly menyatakan tidak ada bukti atau saksi yang memperkuat dakwaan jaksa bahwa Polly terlibat pembunuhan Munir. Namun, satu hakim karir yang menyatakan dissenting opinion mengatakan, dalam kasus konspirasi seperti itu, bukti dan saksi bisa dikesampingkan. Yang penting, ada keterkaitan antara satu fakta dan fakta lain.
Tidak mudah memang membongkar sebuah konspirasi tingkat tinggi. Namun, faktanya adalah bangsa ini telah kehilangan seorang pejuang demokrasi dan HAM yang tangguh. Kematian Munir memang tidak menghentikan perjuangan aktivis HAM untuk terus mengkritisi pelanggaran-pelanggaran hak azasi manusia yang sering dilakukan oleh negara. Tetapi, kita juga tidak ingin perjuangan terus dibayar mahal dengan hilangnya nyawa.
Kini kita hanya bisa menunggu dan berharap pemerintahan SBY bisa memberikan yang terbaik kepada bangsa Indonesia terkait upaya mengungkap kematian Munir. Dari mana memulainya terserah pemerintah. Yang jelas, kita menunggu bahwa kasus ini harus terungkap dengan sejelas-jelasnya dan menyeret para pelakunya untuk dihadapkan ke muka hukum. Ini jelas-jelas pihak korban tidak pernah merasakan suatu KEADILAN.

Sumber :

Sumber :

http://ocw.gunadarma.ac.id/course/psychology/study-program-of-psychology-s1/ilmu-budaya-dasar/manusia-dan-keadilan.
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2150830-defenisi-keadilan-menurut-para-ahli/#ixzz1d0kOEhkv.

http://id.answers.yahoo.com.

http://archive.kaskus.us/thread/2689368.

Selasa, 25 Oktober 2011

Contoh Kasus (Konflik)

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.

Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Solusinya adalah perlu adanya satu komitmen dari semua pihak yang terlibat untuk saling mendukung dan saling memperhatikan satu sama lainnya, tinjau kembali dan sesuaikan dengan hasil eksplorasi diri sendiri, atur dan rencanakan pertemuan antara individu-individu yang terlibat konflik, memantau sudut pandang dari semua individu yang terlibat

Analisisnya adalah setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya, tindakan maupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadinya benturan dengan hak orang lain.

Rabu, 19 Oktober 2011

Corporate Social Responsibilies (CSR)

Pengertian CSR (social corporate responsibility) yang telah dirumuskan oleh para ahlinya memang cukup beragam. Begitupun CSR pada dasarnya adalah operasi bisnis yang memiliki komitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial semata, tetapi juga untuk pembangunan sosial-ekonomi di kawasan perusahaan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Dalam dunia bisnis istilah CSR telah mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan kemudian semakin populer setelah terbitnya buku John Elkington berjudul Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998). Di dalam bukunya Elkington menguraikan tiga komponen penting dalam pembangunan berkelanjutan yaitu pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, dimana ketiganya harus menjadi fokus utama dari setiap perusahaan. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.

Namun Supomo (2004) mengingatkan bahwa pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders, tetapi juga stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh organisasi non profit global yaitu Business for Social Responsibility, ada beberapa manfaat yang diperoleh perusahaan dengan mengimplementasikan CSR, antara lain : (1) peningkatan penjualan dan pangsa pasar (Increased sales and market share); (2) memperkuat posisi nama atau merek dagang (strengthened brand positioning); (3) meningkatkan citra perusahaan (Enhanced corporate image and clout); (4) meningkatkan kemampuan untuk menarik, memotivasi dan mempertahankan pegawai (Increased ability to attract, motivate, and retain employees); (5) menurunkan biaya operasi (Decreasing operating cost); dan (6) meningkatkan daya tarik bagi investor dan analis keuangan (Increased appeal to investors and financial analysts).

Di Amerika Serikat CSR telah berkembang menjadi etika bisnis yang begitu penting dan memberikan tekanan terhadap perusahaan-perusahaan untuk mengimplementasikannya. Pentingnya CSR dapat kita lihat dari pernyataan sejumlah eksekutif perusahaan besar yang ada di sana, antara lain CEO Kellog yang menyatakan bahwa terdapat berbagai kriteria suatu perusahaan yang sukses, dimana selain diperolehnya keuntungan dan naiknya nilai saham, kriteria lain yang sangat penting adalah tanggung jawab sosial. Dengan nada yang sama Phil Knight, CEO Nike menyatakan bahwa keberhasilan Nike dan setiap perusahaan global pada abad 21 ini diukur melalui dampak yang dihasilkan yaitu kualitas kehidupan masyarakat, selain melalui kenaikan harga saham maupun margin keuntungan. Pada tahun 2002 berdasarkan hasil survei KPMG, suatu firma profesional di Amerika Serikat yang bergerak di bidang jasa, terhadap 250 perusahaan besar, telah terjadi peningkatan yang signifikan atas jumlah perusahaan yang melaporkan bentuk tanggung jawab sosial mereka (CSR), yaitu dari 35 % pada tahun 1999 menjadi 45 % pada tahun 2002. Adapun bentuk CSR yang menjadi trend di Amerika Serikat, antara lain seperti kontribusi uang tunai, grants, paid advertising, promotional sponsorship, technical expertise, in-kind contributions, dan employee volunteers. Implementasi CSR diawali dengan diajukannya Corporate Social Initiatives (inisiatif sosial perusahaan). Inisiatif sosial perusahaan dapat didefinisikan sebagai “major activities undertaken by a corporation to support social causes and to fulfill commitments to corporate social responsibility”, yaitu berbagai kegiatan atau aktivitas utama perusahaan yang dilakukan untuk mendukung aksi sosial guna memenuhi komitmen dalam tanggung jawab sosial perusahaan (Kotler & Nancy, 2005). Inisiatif sosial dapat langsung berasal dan dilakukan oleh perusahaan terkait, ataupun dapat merupakan inisiatif atau proposal yang berasal dari pihak lain seperti lembaga non-profit, dan inisiatif sosial kemudian diwujudkan dalam bentuk kerjasama di antara kedua belah pihak.

Ada kecenderungan perusahaan-perusahaan AS melihat CSR tidak lagi menjadi kewajiban yang dapat membebani perusahaan, tetapi justu dapat dijadikan sebagai alat atau strategi baru dalam hal pemasaran atau marketing perusahaan. Dalam suatu artikel di Harvard Business Review tahun 1994, Craig Smith mengetengahkan “The New Corporate Philanthropy”, yang menjelaskan sebagai suatu perpindahan kepada bermunculannya komitmen-komitmen jangka panjang perusahaan-perusahaan untuk memperhatikan atau turut serta dalam suatu inisiatif atau permasalahan sosial tertentu, seperti memberikan lebih banyak kontribusi dana, dan hal ini dilakukan dengan cara yang juga akan dapat mencapat tujuan-tujuan atau sasaran bisnis perusahaan. Dalam artikelnya, Smith juga memberikan beberapa ulasan singkat dalam sejarah yang menjadi tolak ukur perubahan atau evolusi atas pandangan perusahaan-perusahaan terhadap CSR di Amerika Serikat. Sekitar tahun 1950-an, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang menarik segala restriksi hukum dan menyatakan tidak berlaku segala aturan tidak tertulis yang menghalangi keterlibatan perusahaan dalam isu-isu sosial. Sehingga, pada tahun 1960-an, dengan telah ditariknya halangan-halangan tersebut di atas, perusahaan-perusahaan mulai merasakan adanya tekanan atas diri mereka untuk menunjukkan tanggung jawab sosial mereka, dan banyak perusahaan yang mulai mendirikan in-house foundations atau unit khusus untuk menangani CSR (Kotler & Nancy, 2005?).

Pada tahun 1970-an dan 1980-an, banyak perusahaan yang cenderung menyokong isu-isu sosial yang paling tidak terkait dengan bisnis perusahaan mereka, menyokong beraneka ragam isu sosial (tidak terpaku hanya satu), dan bentuk tanggung jawab sosial disalurkan melalui suatu yayasan atau unit lain yang terpisah dari perusahaan. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Exxon Valdez Oil Spill (tumpahan minyak Exxon) pada tahun 1989. Selanjutnya pada tahun 1990-an, cara pandang pun berubah dimana CSR suatu perusahaan tidak hanya diarahkan untuk turut mencapai sasaran-sasaran bisnis perusahaan, tapi perseroan tersebut juga harus menyokong kegiatan-kegiatan dengan memanfaatkan keahlian dalam bidang pemasaran (marketing expertise), bantuan teknis perseroan (technical assistance), dan sukarelawan dari kalangan pegawai. David Hess, Nikolai Rogovsky, dan Thomas W.Dunfee menyatakan bahwa salah satu faktor yang turut mengubah cara pandang terhadap CSR adalah “moral marketplace factor,” yang menambah pentingnya penerimaan atau cara pandang terhadap moralitas suatu perusahaan (corporate morality) yang akan turut mempengaruhi konsumen, investor dan para pegawai dalam memilih ataupun berinvestasi (Kotler & Nancy, 2005?).

Dari pemaparan di atas, secara garis besar, ada dua bentuk pendekatan terhadap CSR, yaitu pendekatan tradisional (traditional approach) dan pendekatan baru (new approach). Dalam pendekatan tradisional, CSR oleh perusahaan-perusahaan hanya dipandang oleh sebagai kewajiban semata (fulfilling an obligation), sedangkan dalam pendekatan baru, CSR tidak hanya dipandang sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, tetapi juga dapat turut membantu mencapai sasaran-sasaran bisnis perusahaan. Di samping itu, di Amerika Serikat juga beredar wacana bahwa apabila suatu perusahaan berpartisipasi dalam isu-isu sosial, tidak hanya perusahaan tersebut akan kelihatan baik di mata para konsumen, investor, dan analis keuangan, tapi perusahaan tersebut akan memiliki reputasi yang baik di mata Congress, atau bahkan di dalam ruang pengadilan apabila terlibat dalam suatu perkara (Kotler & Nancy, 2005?).

Kotler dan Nancy (2005) juga menyebutkan bahwa setidaknya ada enam opsi untuk “berbuat kebaikan” (Six options for Doing Good) sebagai inisiatif sosial perusahaan yang dapat ditempuh dalam rangka implementasi CSR.

Pertama, cause promotions, dimana suatu perusahaan dapat memberikan dana atau berbagai macam kontribusi lainnya, ataupun sumber daya perusahaan lainnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas suatu isu sosial tertentu, ataupun dengan cara mendukung pengumpulan dana, partisipasi dan rekruitmen sukarelawan untuk aksi sosial tertentu. Contohnya perusahaan kosmetika terkemuka di Inggirs, The Body Shop, mempromosikan larangan untuk melakukan uji produk terhadap hewan. The Body Shop sendiri. mengklaim bahwa produk-produk yang dijualnya tidak diuji coba terhadap hewan. Hal ini dapat dilihat pada kemasan produk-produk The Body Shop yang mencantumkan kata-kata “against animal testing”.

Kedua, cause-related marketing, yang dalam hal ini suatu perusahaan berkomitmen untuk berkontribusi atau menyumbang sekian persen dari pendapatannya dari penjualan suatu produk tertentu miliknya untuk isu sosial tertentu. Contohnya seperti Unilever yang memberikan sekian persen dari penjualan sabun produksinya, Lifebuoy, untuk meningkatkan kesadaran hidup bersih dalam masyarakat, dengan cara membangun fasilitas kamar kecil dan wastafel di sekolah-sekolah, terutama di daerah-daerah terpencil. Kemudian Danone, yang juga merupakan produsen air mineral AQUA memberikan sekian persen hasil penjualannya untuk membangun jaringan air bersih di daerah sulit air di Indonesia.

Ketiga, corporate social marketing, dimana suatu perusahaan dapat mendukung perkembangan atau pengimplementasian kampanye untuk merubah cara pandang maupaun tindakan, guna meningkatkan kesehatan publik, keamanan, lingkungan, maupun kesejahteraan masyarakat. Contohnya seperti Unilever yang memproduksi pasta gigi Pepsodent mendukung kampanye gigi sehat. Kemudian Phillip Morris di Amerika Serikat mendorong para orang tua untuk berdiskusi dengan anak-anak mereka mengenai konsumsi tembakau.

Keempat, corporate philanthropy, yang dalam hal ini, suatu perusahaan secara langsung dapat memberikan sumbangan, biasanya dalam bentuk uang tunai. Pendekatan ini merupakan bentuk implementasi tanggung jawab sosial yang paling tradisional. Contohnya suatu perusahaan dapat langsung memberikan bantuan uang tunai ke panti-panti sosial, ataupun apabila tidak uang tunai, dapat berupa makanan ataupun alat-alat yang diperlukan.

Kelima, community volunteering, perusahaan dalam hal ini dapat mendukung dan mendorong pegawainya, mitra bisnis maupun para mitra waralabanya untuk menjadi sukarelawan di organisasi-organisasi kemasyarakatan lokal. Contohnya suatu perusahaan dapat mendorong atau bahkan mewajibkan para pegawainya untuk terlibat dalam bakti sosial atau gotong-royong di daerah dimana perusahaan itu berkantor. Contoh lainnya seperti perusahaan-perusahaan yang memproduksi komputer ataupun piranti lunak mengirim orang-orangnya ke sekolah-sekolah untuk melakukan pelatihan-pelatihan langsung menyangkut keterampiran komputer.

Keenam, socially responsible business practices, misalnya perusahaan dapat mengadopsi dan melakukan praktek-praktek bisnis dan investasi yang dapat mendukung isu-isu sosial guna meningkatkan kelayakan masyarakat (community well-being) dan juga melindungi lingkungan. Seperti contohnya Starbucks bekerjasama dengan Conservation International di Amerika Serikat untuk mendukung petani-petani guna meminimalisir dampak atas lingkungan mereka.

Di Indonesia CSR masih merupakan etika bisnis yang tidak tertulis sebelum diundangkannya Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 Undang-Undang Penanaman Modal menyebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada penjelasan atas Pasal 15 (b) lebih lanjut menerangkan bahwa ”tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Sedangkan Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas menentukan bahwa: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 74 ayat (3) dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud ”dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.

Dengan demikian CSR di Indonesia harus dimaknai bukan lagi hanya sekedar responsibility karena bersifat voluntary, tetapi arus dilakukan sebagai mandatory dalam makna liability karena disertai dengan sanksi. Penanam modal baik dalam negeri maupun asing tidak dibenarkan hanya mencapai keuntungan dengan pengorbankan kepentingan-kepentingan pihak lain yang terkait dan harus tunduk dan mentaati ketentuan CSR sebagai kewajiban hukum jika ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Komitmen bersama untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan menciptakan iklim investasi bagi penanam modal untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai melalui pelaksanaan CSR. CSR dalam konteks penanaman modal harus dimaknai sebagai instrumen untuk mengurangi praktek bisnis yang tidak etis (Sukarmi, 2008).

Menurut Velasquez (2002) isu CSR adalah suatu topik yang berkenaan dengan etika bisnis. Di sini terdapat tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan dan masyarakat di sekitar perusahaan. Oleh karena itu berkaitan pula dengan moralitas, yaitu sebagai standar bagi individu atau sekelompok mengenai benar dan salah, baik dan buruk. Sebab etika merupakan tata cara yang menguji standar moral seseorang atau standar moral masyarakat. Disini etika bisnis adalah pengaturan khusus mengenai moral, benar dan salah. Fokusnya kepada standar-standar moral yang diterapkan dalam kebijakan-kebijakan bisnis, institusi dan tingkah laku. Dalam konteks ini etika bisnis adalah suatu kegiatan standar moral dan bagaimana penerapannya terhadap sistem-sistem dan organisasi melalui masyarakat modern yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dan kepada mereka yang bekerja di organisasi tersebut. Etika bisnis, dengan kata lain adalah bentuk etika terapan yang tidak hanya menyangkut analisis norma-norma moral dan nilai-nilai moral, tetapi juga menerapkan konklusi analisis ini terhadap lembaga-lembaga, teknologi, transaksi, aktivitas-aktivitas yang kita sebut bisnis.

Menurut pandangan utilitarisme, sebagaimana diutarakan Jeremy Bentham, suatu perbuatan atau aturan adalah baik, kalau membawa kesenangan paling besar untuk jumlah orang paling besar (the greatest good for the greatest number), dengan perkataan lain kalau memaksimalkan manfaat (K. Bertens, 2000). Hal itu dapat dipahami apabila suatu perusahaan disamping melakukan kegiatan bisnis demi mencari keuntungan, tetapi juga ikut memikirkan kebaikan, kemajuan, dan kesejahteraan masyarakat dengan ikut melakukan berbagai kegiatan sosial yang berguna bagi masyarakat. Kegiatan sosial tersebut sangat beragam, misalnya menyumbangkan dan untuk membangun rumah ibadah, membangun prasarana dan fasilitas sosial dalam masyarakat, seperti listrik, air, jalan, tempat rekreasi, melakukan penghijauan, menjaga sungai dari pencemaran atau ikut membersihkan sungai dari polusi, melakukan pelatihan cuma-cuma bagi pemuda yang tinggal di sekitar perusahaan, memberi beasiswa kepada anak dari keluarga yang kurang mampu ekonominya, dan seterusnya (A. Sonny Kerap, 2002).

Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, muncul gagasan yang lebih konfrehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini. Menurut Sonny A Keraf (2002) paling tidak sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai bagian yang tidak lagi terpisahkan dari CSR.

Pertama, keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama dimaksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat.

Kedua, perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapatkan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Demikian pula, sampai tingkat tertentu, masyarakat telah menyediakan tenaga-tenaga profesional bagi perusahaan yang sangat berjasa mengembangkan perusahaan tersebut. Karena itu, keterlibatan sosial merupakan balas jasa terhadap masyarakat.

Ketiga, dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan ikut dalam berbagai kegiatan sosial, perusahaan merasa punya kepedulian, punya tanggung jawab terhadap masyarakat dan dengan demikian akan mencegahnya untuk tidak sampai merugikan masyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu.

Keempat, dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut menjalin hubungan sosial yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih diterima kehadirannya dalam masyarakat tersebut. Ini pada gilirannya akan membuat masyarakat merasa memiliki perusahaan tersebut, dan dapat menciptakan iklim sosial dan politik yang lebih aman, kondusif, dan menguntungkan bagi kegiatan bisnis perusahaan tersebut. Ini berarti keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial juga akhirnya punya dampak yang positif dan menguntungkan bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut di tengah masyarakat tersebut.

Berbagai hal mengenai CSR sebagaimana diuraikan di atas sudah normatif. Oleh karena itu manajemen perusahaan harus bisa mengoperasikannya di lapangan, sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Penanaman Modal. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menggunakan CSR tidak hanya terbatas implementasi kewajiban belaka, tetapi dapat memanfaatkannya sebagai metode untuk mencapai sasaran bisnis perusahaan. Sebagaimana Kotler & Nancy (2005) mengutip William Clay Ford, Jr., Ketua Dewan Direksi Ford Motor, bahwa sesungguhnya terdapat perbedaan antara perusahaan yang baik (good) dengan perusahaan sangat baik (great). Perusahaan yang baik memang cenderung menawarkan produk dan layanan yang memuaskan (excellent), tetapi perusahaan besar seyogiyanya tidak hanya menawarkan produk dan layanan yang excellent, melainkan juga turut berusaha menciptakan dunia yang lebih baik.

Sekarang sudah banyak perusahaan yang menerapkan program-program CSR. Mulai dari perusahaan yang terpaksa menjalankan program tanggung jawab sosial-nya karena peraturan yang ada, sampai kepada perusahaan yang benar-benar serius dalam menjalankan program CSR dengan mendirikan yayasan khusus untuk melaksanakan program-program CSR mereka. Berdasarkan konsep Triple Bottom Line (John Elkington, 1997) atau tiga faktor utama operasi dalam kaitannya dengan lingkungan dan manusia (People, Profit, and Planet), program tanggung jawab sosial penting untuk diterapkan oleh perusahaan karena keuntungan perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan. Setiap perusahaan tidak bisa begitu saja mengabaikan peranan stakeholders (konsumen, pekerja, masyarakat, pemerintah, dan mitra bisnis) dan shareholders dengan hanya mengejar profit semata. Jika perusahaan mengabaikan keseimbangan Triple Bottom Line maka akan terjadi gangguan pada manusia dan lingkungan sekitar perusahaan yang dapat menimbulkan reaksi seperti demo masyarakat sekitar atau kerusakan lingkungan sekitar akibat aktifitas perusahaan yang mengabaikan keseimbangan tersebut. Jadi, ada atau tidaknya sebuah peraturan yang mewajibkan sebuah perusahaan yang menjalankan program tanggung jawab sosial atau tidak sebenarnya tidak akan terlalu membawa perubahan karena jika perusahaan tidak menjaga keseimbangan antara people, profit, dan planet maka cepat atau lambat pasti akan timbul reaksi dari pihak-pihak yang dirugikan oleh suatu perusahaan.

Isu tentang CSR sekarang telah memasuki dunia akademis, setelah sebelumnya begitu hangat dibicarakan di kalangan dunia usaha. Lebih jauh topik CSR sudah mulai diakomodasikan pada beberapa mata ajaran di kalangan perguruan tinggi, sehingga cukup banyak mahasiswa yang membuat karya akhir (skripsi, tesis dan disertasi) dengan topik CSR.

Namun perlu disadari bahwa begitu banyak variabel dan lintas ilmu pengetahuan yang terkait dengan masalah CSR. Perubahan kondisi sosial yang dinamis tidak dapat dijadikan suatu hitungan matematis yang sederhana. Salah satunya adalah bagaimana mengukur kinerja CSR. Saat ini, cara untuk mengukur kinerja CSR adalah melalui laporan kegiatannya, yakni dengan metode content analysis. Metode ini mengubah informasi kualitatif menjadi kuantitatif sehingga dapat diolah dalam perhitungan statistik. Artinya, total angka yang didapat dari proses content analysis ini menggambarkan banyaknya pengungkapan yang diinformasikan dalam laporan tersebut. Satu hal penting yang perlu digarisbawahi adalah informasi CSR yang diungkapkan bukan jaminan informasi yang menggambarkan semua kegiatan CSR yang telah dilakukan. Ada gap yang mungkin terjadi. Bisa saja informasi CSR yang diungkapkan hanya sepersekian persen dari semua kegiatan CSR yang dilakukan. Sebaliknya, mungkin informasi yang diungkapkan melebihi kegiatan yang dilakukan. Belum lagi sifat laporan yang berbeda. Misalnya, laporan tahunan perusahaan yang sering dipakai menjadi dasar untuk pengukuran kinerja CSR. Dalam laporan tahunan, terlihat bahwa porsi pengungkapan informasi CSR sangat terbatas dibandingkan dengan laporan lainnya, misalnya laporan keberlanjutan (sustainability report). Namun karena jumlah laporan semacam ini masih sedikit, maka untuk tujuan penelitian, laporan tahunan masih menjadi primadona (Juniati Gunawan, 2009).

Dalam proses content analysis, pengukuran kinerja CSR yang dilakukan melalui laporan tahunan memerlukan acuan informasi (information guideline). Acuan informasi laporan CSR yang saat ini mendominasi adalah sustainability reporting guidelines (SRG), yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative (GRI), walaupun ada acuan lain yang dikembangkan oleh beberapa akademisi melalui kajian literatur. Dalam SRG, paling tidak terdapat 79 item yang tersebar pada enam indikator kinerja. Dengan SRG inilah pengungkapan informasi CSR pada laporan tahunan perusahaan diukur melalui pemberian skor. Cara yang paling sederhana dalam memberikan skor adalah mencantumkan angka ”1” pada item di SRG untuk informasi yang diungkapkan. Atau, memberikan skor ”0” untuk informasi yang tidak diungkapkan. Cara pemberian skor ini dikenal dengan dichotomous (angka 1 untuk menandai ‘ya’ dan 0 untuk ‘tidak’), walaupun ada cara lain pemberian skor yang lebih kompleks. Dengan menjumlahkan semua angka 1, maka didapatkan jumlah angka yang merupakan total informasi CSR yang dilaporkan pada laporan tahunan. Setelah total angka diperoleh, variabel lain dapat ditambahkan. Beberapa variabel yang cukup sering ditemukan positif berhubungan dengan banyaknya informasi CSR dalam laporan tahunan adalah total aset, total penjualan, profitabilitas, kapitalisasi, return on asset (RoA), return on equity (RoE), earning pershare (EPS), serta tipe dan Selanjutnya uji statistik sangat berperan untuk melihat apakah informasi CSR yang ada dalam laporan tahunan tersebut mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel tersebut; atau apakah variabel ini memengaruhi banyaknya informasi CSR yang diungkapkan; atau apakah sebuah perusahaan yang mempunyai besaran aset lebih tinggi akan memberikan informasi CSR yang lebih banyak. Lalu, apakah variabel yang sudah diuji itu bisa disimpulkan menjadi variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja CSR perusahaan? Mengacu pada penjelasan sebelumnya, maka pertanyaan ini seharusnya dijawab “tidak”, karena pengukuran kinerja CSR yang dilakukan melalui content analysis masih menggunakan informasi CSR yang diungkapkan dalam laporan tahunan. Belum lagi masalah subjectivitas yang menjadi kelemahan proses scoring dalam content analysis. Untuk itu, kita harus mendapatkan sebuah laporan CSR yang mempunyai gap seminimal mungkin dengan kinerja nyata CSR, sehingga pengukuran melalui laporan tersebut dapat menggambarkan kegiatan CSR yang mendekati sesungguhnya (Juniati Gunawan, 2009).

Ketika suatu perusahaan beroperasi, menurut Surna T. Djajadiningrat (2006), maka melekatlah tuntutan dan tanggung jawab bagi perusahaan yang bersangkutan akan komunitas lokal yang ada di sekitarnya (stakeholder). Karena bagaimana pun kelangsungan perusahaan sangat bergantung dari dukungan banyak pihak. Selain komunitas internal seperti pemegang saham, karyawan, keluarga karyawan, perhatian pada masyarakat sekitar juga ternyata membawa dampak positif bagi perusahaan. Sementara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Ryana Hardjapamekas (2006) mengemukakan bahwa secara teori “community support is a prerequisite for the sustainability business”. Misalnya seperti sumbangan masyarakat sekitar baik secara materiil (seperti pembebasan tanah mereka untuk perusahaan hingga keterlibatan talent daerah) maupun non materiil (dukungan, rasa aman) sangat berpengaruh bagi keberlanjutan pengembangan perusahaan. Sumbangan inilah yang kemudian melandasi tanggung jawab sosial perusahaan untuk menyejahterakan komunitas lokal tersebut, selain sebagai ‘balas jasa’ dukungan yang mereka berikan. Meskipun hal ini terkesan seperti menyogok masyarakat, tetapi itu lebih baik ketimbang menyogok pejabat.

Sumber :

http://editorsiojo85.wordpress.com/2010/08/03/social-corporate-responsibility/

CONTOH TEORI ETIKA BISNIS

* Teori etika deontologi

Konsep teori etika deontologi ini mengemukakan bahwa kewajiban manusia untuk bertindak secara baik, suatu tindakan itu bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri dan harus bernilai moral karena berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang baik dari pelaku.

Dalam kasus ini, PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.

* Teori etika teleologi

Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Dalam kasus ini, monopoli di PT. PLN terbentuk secara tidak langsung dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945, dimana pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka PT. PLN dinilai etis bila ditinjau dari teori etika teleologi.

* Teori etika utilitarianisme

Etika utilitarianisme adalah teori etika yang menilai suatu tindakan itu etis apabila bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang. Tindakan PT. PLN bila ditinjau dari teori etika utilitarianisme dinilai tidak etis, karena mereka melakukan monopoli. Sehingga kebutuhan masyarakat akan listrik sangat bergantung pada PT. PLN.

* Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri.
Utilitarianisme
berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan.
Contoh : kewajiban untuk menepati janji

Senin, 03 Oktober 2011

PENGERTIAN ETIKA

Pengertian Etika – Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita. Untuk itu perlu kiranya bagi kita mengetahui tentang pengertian etika serta macam-macam etika dalam kehidupan bermasyarakat.

Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.

Istilah lain yang identik dengan etika, yaitu: usila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su). Dan yang kedua adalah Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.

Menurut para ahli, etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini:

- Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.

- Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.

- Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kitauntuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yangpelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.

Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
• Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
• Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.

Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:
• Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
• Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
• Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
• Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)

Macam-macam Etika
Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk di dalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika (Keraf: 1991: 23), sebagai berikut:

1. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.

2. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi Etika Normatif merupakan normanorma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut di atas dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
2. Jenis kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama.
Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.
3. Jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.

SUMBER : whttp://duniabaca.com/pengertian-etika-dan-macam-macamnya.html

Selasa, 10 Mei 2011

Kerangka Karangan

1. Pengertian
Kerangka karangan merupakan rencana penulisan yang memuat garis- garis besar dari suatu karangan yang akan digarap, dan merupakan rangkaian ide-ide yang disusun secara sistematis, logis, jelas, terstruktur, dan teratur.

2. Manfaat Kerangka Karangan
a. Untuk menjamin penulisan bersifat konseptual, menyeluruh, dan terarah
b. Untuk menyusun karangan secara teratur.
Kerangka karangan membantu penulis untuk melihat gagasan-gagasan dalam sekilas pandang, sehingga dapat dipastikan apakah susunan dan hubungan timbal-balik antara gagasan-gagasan itu sudah tepat, apakah gagasan-gagasan itu sudah disajikan dengan baik, harmonis dalam perimbangannya.
c. Memudahkan penulis menciptakan klimaks yang berbeda-beda. Setiap tulisan dikembangkan menuju ke satu klimaks tertentu. Namun sebelum mencapai klimaks dari seluruh karangan itu, terdapat sejumlah bagian yang berbeda-beda kepentingannya terhadap klimaks utama tadi. Tiap bagian juga mempunyai klimaks tersendiri dalam bagiannya. Supaya pembaca dapat terpikat secara terus menerus menuju kepada klimaks utama, maka susunan bagian-bagian harus diatur pula sekian macam sehingga tercapai klimaks yang berbeda-beda yang dapat memikat perhatian pembaca.
d. Menghindari penggarapan topik dua kali atau lebih. Ada kemungkinan suatu bagian perlu dibicarakan dua kali atau lebih, sesuai kebutuhan tiap bagian dari karangan itu. Namun penggarapan suatu topik sampai dua kali atau lebih tidak perlu, karena hal itu hanya akan membawa efek yang tidak menguntungkan; misalnya, bila penulis tidak sadar betul maka pendapatnya mengenai topik yang sama pada bagian terdahulu berbeda dengan yang diutarakan pada bagian kemudian, atau bahkan bertentangan satu sama lain. Hal yang demikian ini tidak dapat diterima. Di pihak lain menggarap suatu topik lebih dari satu kali hanya membuang waktu, tenaga, dan materi. Kalau memang tidak dapat dihindari maka penulis harus menetapkan pada bagian mana topik tadi akan diuraikan, sedangkan di bagian lain cukup dengan menunjuk kepada bagian tadi.
e. Memudahkan penulis mencari materi pembantu.
Dengan mempergunakan rincian-rincian dalam kerangka karangan penulis akan dengan mudah mencari data-data atau fakta-fakta untuk memperjelas atau membuktikan pendapatnya. Atau data dan fakta yang telah dikumpulkan itu akan dipergunakan di bagian mana dalam karangannya itu.

3. Pola Susunan Kerangka Karangan
a. Pola Alamiah
Susunan atau pola alamiah adalah suatu urutan unit-unit kerangka karangan sesuai dengan keadaan yang nyata di alam. Sebab itu susunan alamiah dapat dibagi lagi menjadi tiga bagian utama, yaitu berdasar urutan ruang, urutan waktu, dan urutan topik yang ada.
1) berdasar urutan ruang
2) berdasar urutan waktu
3) berdasar urutan topik yang ada
b. Pola Logis
Pola logis berdasar urutan:
1) klimaks – anti klimaks
Topik: Banjir
Tujuan: Untuk mengetahui akibat banjir
Tema: Banjir dan akibatnya


I. MUSIM PENGHUJAN MULAI
II. PENGGUNDULAN HUTAN
III. EROSI DI MANA-MANA
IV. PENDANGKALAN SUNGAI
V. MUSIBAH BANJIR
VI. PENDERITAAN MASYARAKAT
2) umum – khusus
Topik: Pendidikan
Tujuan: Untuk mengetahui pendidikan di masyarakat
Tema: Pendidikan di masyarakat
I. PENDIDIKAN DALAM LINGKUNGAN MASYARAKAT SECARA UMUM
II. PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT PERKOTAAN
III. PENDIDIKAN DI MASYARAKAT T PEDESAAN
IV. PENDIDIKAN PADA GENERASI MUDA
3) sebab – akibat
Topik: Premanisme di Jakarta
I. PERTUMBUHAN EKONOMI YANG TERSENDAT
II. INDUSTRI TUTUP KARENA BAHAN BAKAR LANGKA
III. LAPANGAN KERJA MENCIUT
IV. MENCARI UANG DENGAN CARA MUDAH

4) proses
5) dan lain-lain.

Agar tingkatan-tingkatan jelas hubungannya, dipergunakan simbol-simbol dan tipografi yang konsisten bagi tingkat yang sederajat.
Simbol-simbol berupa:
Topik tingkat 1: angka Romawi I, II, dan seterusnya
Topik tingkat 2: huruf kapital A, B, dan seterusnya
Topik tingkat 3: angka Arab 1, 2, dan seterusnya
Topik tingkat 4: huruf kecil a, b, dan seterusnya
Topik tingkat 5: angka Arab dalam kurung (1), (2) , dan seterusnya
Topik tingkat 6: huruf kecil dalam kurung (a), (b), dan seterusnya
Simbol-simbol harus ditempatkan sedemikan rupa sehingga mudah terlihat.
Letak tipografinya sbb.:
I. …………
A. ……..
1. ………
a. ……..
(1) ……….
(a) ……..

Semakin penting atau tinggi sebuah unit, semakin ke kiri tempatnya. Semakin
kurang penting atau rendah unitnya, semakin ke kanan tempatnya.
Dapat pula disusun sbb.:
Topik tingkat 1: angka Arab 1. (dengan titik)
Topik tingkat 2: Angka Arab 1.1 (tanpa titik)
Topik tingkat 3: angka Arab 1.1.1 (tanpa titik)
Topik tingkat 4: angka Arab 1.1.1.1 (tanpa titik)
Topik tingkat 5: angka Arab 1.1.1.1.1. (tanpa titik)
Topik tingkat 6: angka Arab 1.1.1.1.1.1 (tanpa titik)

Kerangka karangan terbagi 2, yaitu:

1.kerangka karangan formal
contoh :
Topik : Pengembangan Sistem Telekomunikasi
Judul : Pengembangan Sistem Telekomunikasi di Indonesia
Tujuan : memperoleh jenis sistem telekomunikasi yang tepat dan cocok untuk dipakai di Indonesia
Rumusan Masalah : Sistem telekomunikasi apa yang sesuai atau tepat digunakan di Indonesia untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia sehingga kebutuhan masyarakat akan telekomunikasi dapat terpenuhi.

Aspek yang Diteliti :
a. Keadaan wilayah Indonesia
b. Kebutuhan masyarakat akan telekomunikasi
c. Berbagai jenis sistem telekomunikasi
d. Sistem-sistem telekomunikasi yang telah ada di Indonesia
e. Keadaan telekomunikasi di Indonesia saat ini
f. Hal-hal yang diperlukan untuk mengembangkan telekomunikasi di Indonesia
g. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan telekomunikasi di Indonesia.

2.kerangka karangan informal
Contoh
Topik : ramalan cuaca
Tema : meningkatkan kualitas peramalan cuaca dengan metode DRIR (Direct Readout Infra Red)
Tesis : Kualitas peramalan cuaca akan dapat ditingkatkan dengan menggunakan metode DRIR, yaitu dengan mencatat data radiasi sinar infra merah dari satelit sehingga bisa diketahui distribusi temperatur tiap permukaan bumi.
Judul : DRIR metode canggih dalam Meramalkan Cuaca
Contoh
Topik : Banjir di Bandung Selatan
Tema : Apakah sebab-sebab terjadinya banjir dan bagaimanakah cara mengatasi akibat banjir tsb

Judul : Penanggulangan Akibat Banjir di Bandung Selatan
Dua cara menyusun kerangka karangan cara langsung, ide-ide utama yang akan dikemukakan, langsung disusun menurut urutan dan tingkatan pada bab-bab. Cara bertahap/bertingkat, ide-ide lebih terinci dan tersusun
Cara Bertingkat/Bertahap
a. curah ide/inventarisasi ide, berpatokan pada judul dan tujuan penulisan (tujuan objektif) tanpa disaring
b. penyeleksian ide/pengoreksian/penyempurnaan/inventarisasi ide-ide yang telah dikumpulkan dikoreksi bila ada yang menyimpang dibetulkan bila ada yang kurang ditambahkan
c. pengelompokkan ide (yang sejenis) ide-ide dikelompokkan menurut jenis/tingkatan disusun per bab/anak bab à diberi judul yang sesuai
contoh :
Judul “Sistem Pengamanan yang Kurang efektif terhadap Meningkatnya kejahatan”
d. penyusunan urutan ide dalam kelompok,lalu diberi judul
e. penyusunan urutan kelompok